ما جاء في النهي عن إقامة الإنسان من مجلسه
٥ – وعن ابن عمر رضي الله تعالى عنهما قال: قال رسول الله ﷺ: (لَا يُقِيمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ من مَجۡلِسِهِ ثُمَّ يَجۡلِسُ فيه، وَلَكِنۡ تَفَسَّحُوا وَتَوَسَّعُوا). متفق عليه.
5. Dari Ibnu ‘Umar—radhiyallahu ‘anhuma—. Beliau berkata: Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, “Janganlah seseorang membuat orang lain berdiri dari tempat duduknya, lalu ia duduk di situ, tetapi hendaklah kalian memberi ruang dan memberi keluasan tempat duduknya.”1HR Al-Bukhari nomor 6270 dan Muslim nomor 2177. Muttafaqun ‘alaih.
الشرح
Syarah
وهذا الحديث أيضاً من آداب المجالس، فإذا سَبَقَ أحد إلى مجلس فهو أحق به، ولا يجوز لأحدٍ أن يقيمه منه، سواء كان ذلك في المسجد أو كان ذلك في مجالس الناس خارج المسجد كالبيوت، أو كان ذلك في الجلوس في الأسواق للبيع والشراء، فمَن سَبَقَ إلى مكان وجلس فيه فهو أحقُّ به، ولا يجوز لأحد أن يحوّله عنه، ولكن إذا قام صاحب المجلس وآثر به القادم فلا بأس بذلك؛ لأنه تنازل عن حقه، وأما أن يُقيمه بغير رضاه وبغير إيثار منه فهذا ظلم وخطأ .
Hadis ini juga berkaitan dengan adab-adab majelis. Jika seseorang datang lebih dulu dalam suatu majelis, maka ia lebih berhak atas tempat dia duduk. Tidak seorang pun diperbolehkan untuk mengusirnya, baik di masjid maupun di tempat-tempat berkumpul di luar masjid, seperti di rumah-rumah atau di pasar-pasar jual beli. Siapa pun yang datang lebih dulu dan duduk di sana, maka ia lebih berhak atas tempat duduknya. Tidak seorang pun diperbolehkan untuk mengusirnya. Namun, jika si pemilik tempat (yang datang duluan) itu berdiri dan memberikan tempatnya kepada orang yang baru datang, maka hal itu tidak mengapa, karena ia telah melepaskan haknya. Adapun mengusirnya tanpa ridanya dan izinnya untuk memberikan tempatnya untuk orang lain, maka ini adalah kezaliman dan kesalahan.
فمن سبق إلى مكان مباح فهو أحق به من غيره كائنًا من كان، سواء كان هذا في مسجد، أو في مجلس خاص، أو في الأمكنة التي يبيع الناس ويشترون فيها، أما إذا كان المكان غير مسموح به من قبل ولاة الأمور، فلا يجوز لأحد أن يخالف ولي الأمر؛ لأن المصلحة العامة تقتضي أن يكون هذا المكان خالياً لأجل مرور الناس، أو مواقف سياراتهم، أو دوابهم أو مرافقهم، فإذا منعه ولي الأمر فطاعة ولي الأمر واجبة، لأنه يمنعه للمصلحة العامة، أما إذا سمح في ساحة أو في مكان للناس، فكل من سبق إلى مكان فيها فهو أحقُّ به، ولا يجوز لأحد أن يقيمه منه إلا إذا سمح هو وآثر غيره بمكانه، فلا بأس أن يجلس فيه، ولكن ابن عمر – رضي الله تعالى عنهما – كان لا يجلس في مكان رجل حتى ولو قام صاحبه له، كان إذا قام له أحدٌ فإنه لا يجلس في مكانه، وهذا من باب التورع والتواضع منه رضي الله عنه.
Siapapun yang tiba pertama kali di tempat yang mubah, maka ia berhak atasnya melebihi siapa pun, baik di masjid, perkumpulan khusus, maupun tempat jual beli. Namun, jika tempat itu tidak diizinkan oleh penguasa, maka tidak seorang pun boleh melanggarnya, karena demi kepentingan umum, tempat itu harus bersih untuk lalu lintas orang, atau untuk parkir mobil, hewan, atau fasilitas mereka. Jika penguasa melarangnya, maka ketaatan kepada penguasa adalah wajib, karena mereka melarangnya untuk kepentingan umum. Namun, jika diizinkan di lapangan atau tempat ramai, maka siapapun yang tiba pertama kali di suatu tempat di sana, dia lebih berhak atasnya. Tidak seorang pun boleh memaksanya pindah dari tempat itu kecuali ia mengizinkan dan lebih mengutamakan orang lain untuk memakai tempatnya, maka tidak mengapa bagi orang lain itu untuk menempatinya.
Adapun Ibnu ‘Umar—radhiyallahu ta’ala ‘anhuma—tidak mau duduk di tempat seseorang, meskipun orang itu berdiri untuk mempersilakannya. Kalau ada yang berdiri untuk memberikan tempat duduknya kepada Ibnu ‘Umar, beliau tidak mau duduk di tempatnya. Ini adalah bentuk sikap warak dan kerendahan hatinya, semoga Allah meridainya.
من جاء إلى مكان فإنه يجلس حيث ينتهي به المجلس، فإذا جاء إلى المسجد، فإنه يصفُ في المكان الذي ليس فيه أحد في طرف الصف؛ لأن هذا حظه، لماذا لم يتقدم ويكن مع السابقين؟ وكذلك في المجالس يجلس في المكان الذي ينتهي به، ولا يقيم أحدًا من السابقين بغير رضاه، وتنازله من نفسه، هذا معنى قوله في هذا الحديث: (لا يُقيم غيره من مكانه، ويجلس فيه).
Siapapun yang datang ke suatu tempat, ia duduk di ruang majelis bagian akhir. Jika ia datang ke masjid, ia berbaris di tempat yang tidak ada orang di ujung saf, karena itulah jatahnya. Mengapa ia tidak datang lebih awal sehingga bisa bersama orang-orang yang awal? Demikian pula dalam majelis, ia duduk di tempat bagian akhir. Ia tidak boleh menyuruh seorang pun dari orang-orang yang datang duluan berdiri tanpa rida dan kerelaan dari orang itu. Inilah makna sabdanya dalam hadis ini, “Ia tidak menyuruh orang lain berdiri dari tempatnya, lalu ia duduk di situ.”
وأيضًا إذا كان المجلس ضيقًا فإن المشروع لهم أن يتفسحوا ويهيئوا له مكانًا، قال الله سبحانه وتعالى: ﴿يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قِيلَ لَكُمۡ تَفَسَّحُوا۟ فِى ٱلۡمَجَٰلِسِ فَٱفۡسَحُوا۟ يَفۡسَحِ ٱللَّهُ لَكُمۡ ﴾ [المجادلة: ١١]، فيُفسِحون لأخيهم ويجلسونه في مكان كي يشاركهم في مجلس العلم، أو في مجلس الأنس والملاطفة، فهذه هي آداب المجلس.
Demikian pula, jika ruang majelis itu sempit, mereka disyariatkan untuk melapangkan ruang dan menyediakan tempat untuknya. Allah—subhanahu wa ta’ala—berfirman, “Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepada kalian: ‘Berlapang-lapanglah dalam majelis’, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untuk kalian.” (QS Al-Mujadilah: 11).
Maka mereka menyediakan tempat bagi saudara mereka dan mendudukkannya di suatu tempat agar ia dapat ikut serta bersama mereka dalam majelis ilmu atau dalam majelis ramah-tamah. Inilah adab-adab majelis.
Sumber: Ithaf Al-Kiram bi Syarh Kitab Al-Jami’ fi Al-Akhlaq wa Al-Adab min Bulugh Al-Maram syarah Syekh Doktor Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah
Be the first to leave a comment