﷽
الۡحَمۡدُ لِلهِ رَبِّ الۡعَالَمِينَ، وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحۡبِهِ أَجۡمَعِينَ.
Segala puji bagi Allah Rabb alam semesta. Selawat, salam, dan keberkahan semoga Allah limpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya semua.
قَالَ الشَّيۡخُ الۡإِسۡلَامُ الشَّيۡخُ مُحَمَّدُ بۡنُ عَبۡدِ الۡوَهَّابِ رَحِمَهُ اللهُ وَعَفَا عَنۡهُ… آمِين: تَأَمَّلۡ رَحِمَكَ اللهُ سِتَّةَ مَوَاضِعَ مِنَ السِّيرَةِ، وَافۡهَمۡهَا فَهۡمًا حَسَنًا.
Syekh Islam Syekh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab—semoga Allah merahmati dan memaafkannya, amin—berkata: Perhatikanlah—semoga Allah merahmatimu—enam peristiwa penting dari sejarah perjalanan hidup Rasulullah dan pahamilah dengan pemahaman yang baik.[1]
لَعَلَّ اللهَ أَنۡ يُفۡهِمَكَ دِينَ الۡأَنۡبِيَاءِ لِتَتۡبَعَهُ، وَدِينَ الۡمُشۡرِكِينَ لِتَتۡرُكَهُ.
Dengan begitu, bisa jadi Allah akan memberimu pemahaman tentang agama para nabi sehingga engkau bisa mengikutinya dan agama orang-orang musyrik sehingga engkau bisa meninggalkannya.[2]
Syekh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan–hafizhahullah–di dalam syarahnya berkata,
[1] ﷽
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
قَالَ الشَّيۡخُ رَحِمَهُ اللهُ: (تَأَمَّلۡ رَحِمَكَ اللهُ سِتَّةَ مَوَاضِعَ مِنَ السِّيرَةِ، وَافۡهَمۡهَا فَهۡمًا حَسَنًا) السِّيرَةُ: الۡمُرَادُ بِهَا سِيرَةُ الرَّسُولِ ﷺ، وَهِيَ الطَّرِيقَةُ الَّتِي كَانَ يَسِيرُ عَلَيۡهَا الرَّسُولُ ﷺ مُنۡذُ بِعۡثَتِهِ إِلَى أَنۡ تَوَفَّاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي الۡعِبَادَةِ، وَفِي الۡمُعَامَلَاتِ، وَفِي الدَّعۡوَةِ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَفِي الۡجِهَادِ وَالۡهِجۡرَةِ، وَفِي التَّعۡلِيمِ، فَكُلُّ أَفۡعَالِهِ وَأَقۡوَالِهِ وَتَصَرُّفَاتِهِ ﷺ هِيَ سِيرَتُهُ –عَلَيۡهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ-، وَهَٰذَا أَمۡرٌ مُهِمٌّ أَنَّ الۡمُسۡلِمَ يَدۡرُسُ سِيرَةَ الرَّسُولِ ﷺ مِنۡ أَجۡلِ أَنۡ يَقۡتَدِيَ بِهِ؛ لِأَنَّ اللهَ –جَلَّ وَعَلَا- قَدۡ جَعَلَهُ قُدۡوَةً لَنَا.
Syekh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab—rahimahullah—berkata, “Perhatikanlah—semoga Allah merahmatimu—enam peristiwa penting dari sirah dan pahamilah dengan pemahaman yang baik.” Sirah maksudnya adalah sirah Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—. Yaitu jalan hidup yang dilalui oleh Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—semenjak diutusnya beliau hingga Allah—azza wajalla—wafatkan beliau, dalam hal ibadah, muamalah, dakwah kepada Allah—azza wajalla—, jihad, hijrah, dan taklim. Jadi seluruh perbuatan, ucapan, dan sepak terjang beliau—shallallahu ‘alaihi wa sallam—adalah sirah beliau—‘alaihish shalatu was salam—. Ini adalah perkara yang penting, yaitu bahwa seorang muslim belajar sirah Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—untuk bisa meneladaninya, karena Allah—jalla wa ‘ala—telah menjadikan beliau sebagai teladan untuk kita.
قَالَ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى: ﴿لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرۡجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا﴾ [الأحزاب: ٢١] فَهُوَ قُدۡوَتُنَا –عَلَيۡهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ-، فَلۡنَدۡرُسۡ سِيرَتَهُ مِنۡ أَجۡلِ أَنۡ نَقۡتَدِيَ بِهِ فِي ذٰلِكَ، وَهَٰذَا هُوَ الۡمَطۡلُوبُ مِنۡ دِرَاسَةِ السِّيرَةِ وَالتَّفَقُّهِ فِيهَا، لَيۡسَ الۡمَقۡصُودُ أَنَّ السِّيرَةَ تُقۡرَأُ فِي مُنَاسَبَةٍ مُبۡتَدَعَةٍ مِثۡلِ مَنُاسَبَةِ الۡمَوۡلِدِ، فَإِنَّ هَٰذِهِ الۡقِرَاءَةَ لَا تُسۡمِنُ وَلَا تُغۡنِي مِنۡ جُوعٍ؛ لِأَنَّهَا لَيۡسَتۡ لِلتَّفَقُّهِ فِيهَا؛ وَإِنَّمَا هِيَ لِلتَّبَرُّكِ جَرۡيًا عَلَى الۡعَادَةِ فَقَطۡ، فَلَا تُفِيدُ شَيۡئًا؛ لِأَنَّ تَخۡصِيصَهَا بِوَقۡتٍ مُعَيَّنٍ ثُمَّ تُطۡوَى، هَٰذَا الۡأَمۡرُ لَا يَنۡفَعُ وَلَا يُفِيدُ، السِّيرَةُ مَطۡلُوبٌ دِرَاسَتُهَا دَائِمًا، وَلَا نَقۡصُدُ بِالدِّرَاسَةِ مُجَرَّد أَنَّنَا نَقۡرَؤُهَا مِنۡ أَوَّلِهَا إِلَى آخِرِهَا وَنَقُولُ: قَرَأۡنَا السِّيرَةَ، لَا، لَا بُدَّ أَنۡ نَتَفَقَّهَ فِيهَا وَنَقۡتَدِيَ بِالرَّسُولِ ﷺ فِي أَفۡعَالِهِ وَأَقۡوَالِهِ، هَٰذَا هُوَ الۡمَقۡصُودُ.
Allah—subhanahu wa taala—berfirman yang artinya, “Sungguh telah ada teladan yang baik untuk kalian pada diri Rasulullah, bagi siapa saja yang mengharap (rahmat) Allah dan hari kiamat dan dia sering mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21). Jadi beliau adalah teladan kita—‘alaihimush shalatu was salam—, sehingga kita mempelajari sirah beliau agar kita bisa meneladani beliau. Inilah tujuan mempelajari sirah dan mendalaminya. Bukanlah maksudnya agar sirah beliau dibaca di acara yang diada-adakan seperti acara maulid. Karena membaca sirah dengan cara ini ‘tidak dapat menggemukkan dan tidak bisa menghilangkan rasa lapar’. Hal itu karena tujuannya bukan untuk mendalaminya, tetapi hanya untuk tabaruk dalam rangka menjalankan kebiasaan semata sehingga tidak berfaedah sedikit pun. Mengkhususkan membaca sirah di suatu waktu tertentu lalu setelah itu dilipat begitu saja merupakan perkara yang tidak bermanfaat dan tidak berfaedah. Sirah itu dituntut untuk senantiasa dipelajari. Kita tidak memaksudkan hanya dipelajari dengan kita baca dari awal sampai akhir lalu kita katakan, “Kita telah membaca sirah.” Tidak demikian. Harus kita dalami dan kita teladani Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dalam perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan beliau. Inilah maksud mempelajari sirah.
وَقَدۡ كَتَبَ الۡإِمَامُ ابۡنُ الۡقَيِّمِ رَحِمَهُ اللهُ كِتَابًا عَظِيمًا فِي فِقۡهِ السِّيرَةِ وَهُوَ: (زَادُ الۡمَعَادِ فِي هَدۡيِ خَيۡرِ الۡعِبَادِ) وَكَتَبَ بَعۡضُ الۡمُعَاصِرِينَ كِتَابَاتٍ مِنۡهَا مَا هُوَ صَحِيحٌ، وَمِنۡهَا مَا هُوَ سَيِّءٌ، وَمِنۡهُمۡ مَنۡ انۡحَرَفَ وَجَاءَ بِالشِّرۡكِيَّاتِ، وَحَثَّ عَلَى التَّبَرُّكِ بِالۡآثَارِ، وَجَعَلَ هَٰذَا هُوَ الۡمَقۡصُودُ مِنۡ قِرَاءَةِ السِّيرَةِ، وَلَٰكِنۡ هَٰذَا لَا عِبۡرَةَ بِهِ؛ لِأَنَّ كُلًّ يُنۡفِقُ مِمَّا عِنۡدَهُ، الَّذِي عِنۡدَهُ شَيۡءٌ جَيِّدٌ يُنۡفِقُ شَيۡئًا جَيِّدًا، وَالَّذِي عِنۡدَهُ شَيۡءٌ رَدِيءٌ يُنۡفِقُ رَدِيئًا، وَالۡحَمۡدُ لِلّٰهِ، نَسۡأَلُ اللهَ أَنۡ يَهۡدِيَنَا وَإِيَّاكُمۡ، وَيَهۡدِيَ هَٰؤُلَاءِ إِلَى سَوَاءِ السَّبِيلِ، وَأَنۡ يَرُدَّهُمۡ إِلَى الۡحَقِّ، وَنَحۡنُ لَا نَتَنَدَّرُ بِهِمۡ؛ لِئَلَّا يُصِيبُنَا مَا أَصَابَهُمۡ، وَلَٰكِنۡ نَسۡأَلُ اللهَ الۡعَافِيَةَ، نَسۡأَلُ اللهَ أَنۡ يَهۡدِيَهُمۡ وَأَنۡ يَرُدَّهُمۡ إِلَى الصَّوَابِ.
Imam Ibnu Al-Qayyim—rahimahullah—telah menulis suatu kitab yang agung tentang fikih sirah, yaitu Zaad Al-Ma’ad fi Hadyi Khairi Al-‘Ibad. Sebagian penulis masa kini juga membuat tulisan-tulisan. Di antaranya ada yang sahih dan di antaranya ada yang jelek. Di antara mereka ada yang menyimpang dan membawa hal-hal yang berbau kesyirikan serta menganjurkan untuk tabaruk dengan benda-benda peninggalan Nabi. Dia menjadikan ini sebagai maksud membaca sirah. Akan tetapi ini tidak usah dianggap. Karena setiap orang akan membelanjakan apa yang dia miliki. Orang yang memiliki sesuatu yang baik, akan membelanjakan sesuatu yang baik. Orang yang memiliki sesuatu yang buruk, akan membelanjakan yang buruk.
Alhamdulillah. Kita meminta kepada Allah agar menunjuki kita dan kalian, agar Allah menunjuki mereka kepada jalan yang lurus dan mengembalikan mereka kepada kebenaran. Kita tidak mengejek mereka agar jangan sampai apa yang menimpa mereka akan menimpa kita. Akan tetapi kita meminta penjagaan kepada Allah. Kita meminta kepada Allah agar menunjuki mereka dan mengembalikan mereka kepada kebenaran.
فَالۡمَقۡصُودُ مِنۡ دِرَاسَةِ سِيرَةِ الرَّسُولِ ﷺ: هُوَ الۡاعۡتِبَارُ وَالۡعَمَلُ، وَالۡاقِتِدَاءُ بِالرَّسُولِ ﷺ، وَأَخۡذُ الۡأَحۡكَامِ مِنۡهَا، هَٰذَا هُوَ الۡمَطۡلُوبُ؛ لِأَنَّ حَيَاتِهِ ﷺ كُلَّهَا خَيۡرٌ، وَكُلَّهَا عِلۡمٌ، وَكُلَّهَا عَمَلٌ صَالِحٌ، كُلَّهَا جِهَادٌ، وَكُلَّهَا دَعۡوَةٌ، وَكُلَّهَا تَعۡلِيمٌ.
Jadi, maksud belajar sirah Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—adalah mengambil pelajaran, mengamalkan, dan meneladani Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—. Serta mengambil hukum-hukum darinya. Inilah tujuannya. Karena kehidupan beliau seluruhnya adalah kebaikan, seluruhnya adalah ilmu, seluruhnya amal saleh, seluruhnya jihad, seluruhnya dakwah, dan seluruhnya adalah taklim.
حَيَاتُهُ ﷺ فَائِضَةٌ بِالۡخَيۡرِ الۡعَظِيمِ مِنۡ جَمِيعِ النَّوَاحِي، كُلُّهَا عِبَادَةٌ.
Kehidupan beliau berlimpah kebaikan yang agung dari segala sisi. Seluruhnya adalah ibadah.
فَعَلَيۡنَا أَنۡ نَعۡتَنِيَ بِسِيرَتِهِ ﷺ، وَالشَّيۡخُ أَخَذَ مِنۡهَا سِتَّةَ مَوَاضِعَ مُهِمَّةٍ وَالۡبَقِيَّةُ مَوۡجُودَةٌ فِي سِيرَتِهِ ﷺ، لَٰكِنۡ هَٰذِهِ الۡمَوَاضِعُ تَتَعَلَّقُ بِالۡعَقِيدَةِ.
Sehingga kita wajib untuk memperhatikan sirah beliau—shallallahu ‘alaihi wa sallam—. Syekh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab mengambil enam peristiwa yang penting dari sirah beliau. Adapun yang selain itu tetap ada dalam perjalanan hidup beliau, namun peristiwa-peristiwa ini berkaitan dengan akidah.
[2] هَٰذَا الۡمَقۡصُودُ مِنۡ دِرَاسَةِ السِّيرَةِ، أَنَّكَ تَفۡهَمُ دِينَ الۡأَنۡبِيَاءِ -عَلَيۡهِمُ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ-، تَفۡهَمُ التَّوۡحِيدَ لِتَتَّبِعَهُ، وَتَفۡهَمُ الشِّرۡكَ مِنۡ أَجۡلِ أَنۡ تَجۡتَنِبَهُ، فَلَا يَكۡفِي أَنَّ الۡإِنۡسَانَ يَعۡرِفُ الۡحَقَّ فَقَطۡ بَلۡ لَابُدَّ أَنۡ يَعۡرِفَ الۡحَقَّ وَيَعۡرِفَ الۡبَاطِلَ، يَعۡرِفُ الۡحَقَّ مِنۡ أَجۡلِ أَنۡ يَعۡمَلَ بِهِ، وَيَعۡرِفَ الۡبَاطِلَ مِنۡ أَجۡلِ أَنۡ يَتَجَنَّبَهُ؛ لِأَنَّهُ إِذَا لَمۡ يَعۡرِفِ الۡبَاطِلَ وَقَعَ فِيهِ وَهُوَ لَا يَدۡرِي.
Inilah maksud dari mempelajari sirah, yaitu agar engkau memahami agama para nabi—‘alaihimush shalatu was salam—, agar engkau memahami tauhid untuk mengikutinya, dan agar engkau memahami syirik untuk menjauhinya. Maka tidak cukup seseorang mengetahui kebenaran saja, tetapi dia harus mengetahui kebenaran dan mengetahui kebatilan. Dia mengetahui kebenaran untuk mengamalkannya dan mengetahui kebatilan untuk menjauhinya. Karena jika dia tidak mengetahui kebatilan, dia akan terjerumus padanya dalam keadaan tidak mengetahui.
فَأَنۡتَ عِنۡدَمَا تَسِيرُ فِي طَرِيقٍ وَأَنۡتَ لَا تَعۡرِفُ هَٰذَا الطَّرِيقَ، وَفِيهِ حُفۡرٌ وَفِيهِ مَهَالِكٌ، رُبَّمَا تَهۡلِكُ وَأَنۡتَ لَا تَدۡرِي، تَقَعُ فِي الۡحُفۡرِ وَأَنۡتَ مَا دَرَيۡتَ ، لَكِنَّكَ إِذَا دَرَسۡتَ الطَّرِيقَ، فَعَرَفۡتَ مَا فِيهِ مِنَ الۡمَسَالِكِ، وَمَا فِيهِ مِنَ الۡأَخۡطَارِ، فَإِنَّكَ تَكُونُ عَلَى بَيِّنَةٍ، تَتَجَنَّبُ الۡمَهَالِكَ الَّتِي فِي الطَّرِيقِ.
Ketika engkau hendak menyusuri sebuah jalan dalam keadaan engkau tidak mengetahui jalan itu, padahal di situ ada lubang dan tempat-tempat yang mencelakakan, bisa jadi engkau akan celaka dalam keadaan tidak mengetahui. Engkau akan jatuh ke dalam lubang dalam keadaan engkau tadinya tidak tahu. Akan tetapi apabila engkau sudah mempelajari jalan itu, maka engkau akan tahu lika-liku jalan itu, bahaya-bahaya yang ada padanya, sehingga engkau sudah memiliki pengetahuan untuk bisa menjauhi tempat-tempat yang mencelakakan yang ada di jalan itu.
هَٰذَا فِي الۡأُمُورِ الۡحِسِّيَّةِ، كَذٰلِكَ فِي الۡأُمُورِ الۡعَقۡدِيَّةِ مِنۡ بَابِ أَوۡلَى، فَلَا بُدَّ أَنۡ تَعۡرِفَ الۡبَاطِلَ، تَعۡرِفَ الشِّرۡكَ، وَمَا هِيَ أَنۡوَاعُهُ وَمَا هِيَ أَسۡبَابُهُ، وَمَا هِيَ الۡوَسَائِلُ الَّتِي تُوصِلُ إِلَيۡهِ حَتَّى تَتَجَنَّبَهَا. يَقُولُ الشَّاعِرُ:
عَرَفۡتُ الشَّرَّ لَا لِلشَّرِّ لَٰكِنۡ لِتَوَقِّيهِ وَمَنۡ لَا يَعۡرِفِ الشَّرَّ مِنَ الۡخَيۡرِ يَقَعۡ فِيهِ
Ini dalam perkara-perkara indrawi. Demikian pula dalam perkara-perkara keyakinan, tentu lebih utama. Maka engkau harus mengetahui kebatilan, engkau mengetahui kesyirikan, apa macam-macamnya, apa sebab-sebabnya, apa wasilah-wasilah yang mengantarkan kepada kesyirikan hingga engkau bisa menjauhinya. Penyair berkata, “Aku mengetahui kejelekan bukan untuk melakukannya, tetapi untuk menjauhinya. Siapa saja yang tidak mengetahui kejelekan dari kebaikan, dia bisa terjerumus padanya.”
حُذَيۡفَةُ بۡنُ الۡيَمَانِ -رَضِيَ اللهُ تَعَالَی عَنۡهُ- الصَّحَابِيُّ الۡجَلِيلُ يَقُولُ: كَانَ النَّاسُ يَسۡأَلُونَ النَّبِيَّ ﷺ عَنِ الۡخَيۡرِ وَكُنۡتُ أَسۡأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنۡ أَقَعَ فِيهِ.
Hudzaifah bin Al-Yaman—radhiyallahu ta’ala ‘anhu—seorang sahabat yang mulia mengatakan, “Dahulu orang-orang bertanya kepada Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan karena takut terjerumus padanya.”
فَلَا بُدَّ مِنۡ مَعۡرِفَةِ الۡخَيۡرِ وَمَعۡرِفَةِ الشَّرِّ، وَالۡبَعۡضُ الۡيَوۡمَ يَقُولُ: تَعۡرِفُ الۡحَقَّ، وَلَيۡسَ مِنَ الضَّرُورِيِّ أَنۡ تَعۡرِفَ مَا يُضَادُّهُ.
وَهَٰذَا بَاطِلٌ؛ لِأَنَّكَ إِذَا لَمۡ تَعۡرِفِ الۡبَاطِلَ يَظِلُّ خَافِيًا فَتَضِلُّ عَنِ الۡحَقِّ، لَا سِيَّمَا وَدُعَاةُ السُّوءِ وَدُعَاةُ الضَّلَالِ عَلَى اسۡتِعۡدَادٍ لِإِضۡلَالِ النَّاسِ.
Jadi harus mengetahui kebaikan dan mengetahui kejelekan. Sebagian orang di hari-hari ini mengatakan,”Engkau mengetahui kebaikan, adapun mengetahui lawannya bukanlah merupakan hal yang pokok.”
Ini batil, karena apabila engkau tidak mengetahui kebatilan, maka kebatilan akan menjadi samar sehingga engkau bisa tersesat dari kebenaran. Terlebih lagi para penyeru keburukan dan penyeru kesesatan sudah bersiap-siap untuk menyesatkan manusia.
Be the first to leave a comment