Sang Ahli Ibadah
Dikenal sebagai ulama yang piawai dalam ilmu hadis dengan kekuatan hafalan sangat kuat. Hidup di era tabi’in dengan nama-nama besarnya tidaklah menyurutkan kredibilitasnya di deretan ulama-ulama tersebut. Beliaulah seorang ulama tabi’in yang bernama lengkap Ibrahim bin Yazid bin Qais bin Al Aswad bin Amr bin Rabi’ah bin Dzuhl bin Sa’d bin Malik bin An Nakha’ An Nakha’i Al Kufi lebih akrab dengan sebutan Ibrahim An Nakha’i rahimahullah.
Sejak kecil Ibrahim hidup di lingkungan keluarga ulama besar, ayahandanya adalah Yazid bin Qais An Nakha’i dan ibundanya adalah Mulaikah bintu Yazid An Nakha’iyah. Pamannya dari jalur ayah adalah Alqamah bin Qais An Nakha’i sementara paman dari jalur ibu adalah Al Aswad bin Yazid An Nakha’i dan Abdurrahman bin Yazid An Nakha’i. Telah diketahui bahwa Al Aswad bin Yazid dan Abdurrahman bin Yazid, keduanya adalah ulama tabiin yang tsiqah (tepercaya) di Kota Kufah.
Ibrahim dilahirkan pada tahun 47 H atau disebutkan dalam pendapat yang lain pada tahun 39 H. Beliau tumbuh besar di Kota Kufah sebagai salah satu pusat perbendaharaan ilmu agama dan hadis saat itu karena masih banyak shahabat dan ulama tabi’in yang tinggal di kota itu.
Adapun An Nakha’i merupakan nisbat kepada sebuah kabilah besar dari Madzhaj di negeri Yaman. Sejak dahulu kabilah Nakha’ bertaburan dengan ulama-ulama besar. Mengingatkan kita kepada doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kabilah ini. Tatkala mereka mengirim delegasi kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyatakan keislamannya. Maka Nabi pun mendoakan mereka اللّٰهُمَّ بَارِكْ فِي النَّخَعِ (Ya Allah berkahilah kabilah Nakh’) dan Allah pun mengabulkan doa Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibrahim pernah bertemu dengan sejumlah shahabat namun tidak ternukilkan satu pun bahwa beliau meriwayatkan dari mereka. Saat masih kecil, beliau pernah bertemu dengan ummul mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika menemani pamannya dalam suatu keberangkatan ibadah haji. Sehingga tidak ada satu riwayatpun yang menjelaskan bahwa beliau pernah mendengar hadis dari Aisyah. Bahkan tidak pula riwayat dari shahabat yang yang sempat tinggal bersamanya di kota Kufah seperti Al Bara’ bin ‘Azib, Abu Juhaifah, dan Amr bin Huraits.
Namun demikian, Ibrahim banyak mewarisi ilmunya Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Riwayatnya yang terkenal yang bersumber dari Abdullah bin Mas’ud adalah dari para tokoh ulama tabi’in seperti Al Aswad bin Yazid dan Alqamah bin Qais serta Abdurrahman bin Yazid, semuanya adalah pamannya sendiri. Demikian juga dari ulama lain seperti: Masruq, Ar Rabi’ bin Khaitsam, Syuraih Al Qadhi, Abu Zur’ah Al Bajali, Khaitsam bin Abdurrahman, Abu Abdirrahman As Sulami, dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Ibrahim adalah referensi hadis paling dicari oleh para perawi hadis di Kota Kufah. Beliau sering diilustrasikan bersama dengan Alqamah sebagai pewaris ilmunya Abdullah Bin Mas’ud. Tercatat nama-nama besar yang pernah meriwayatkan hadis dari beliau seperti: Al Mughirah bin Miqsam Adh Dhabbi, Manshur bin Mu’tamir As Sulami, Abdullah bin ‘Aun Al Muradi, Abu Ishaq Asy Syabani, Al Harits bin Yazid Al ‘Akli, Abu Masy’ar Ziyad bin Kulaib, Abdullah bin Syabramah, Al A’masy Sulaiman bin Mihran, Hammad bin Abi Sulaiman dan yang lainnya.
PUJIAN ULAMA
Tidak ada silang pendapat di antara ulama tempo dulu atau setelahnya bahwa Ibrahim An Nakha’i adalah pakar ilmu fikih di masanya. Pujian-pujian banyak tertuju kepadanya dari para ulama yang selevel dengannya baik yang sezaman atau generasi setelahnya. Terlebih pujian dari murid-muridnya yang tidak bisa terungkap kalimat demi kalimat.
Adz Dzahabi rahimahullah memberikan pujian yang sangat banyak dalam biografinya bahwa Ibrahim adalah seorang imam, hafizh (penghafal hadis) dan ahli fikihnya negeri Irak. Beliau sangat mengetahui dan menguasai ilmunya Abdullah bin Mas’ud, riwayatnya sangat luas, mulia kedudukannya di kalangan ulama dan memiliki keistimewaan yang banyak. Terkhusus kekuatan hafalannya yang memang sangat luar biasa, karena Ibrahim tidak pernah menulis hadis sama sekali. Semua hadis diriwayatkan dengan mengandalkan memori hafalannya yang sangat kokoh.” Sampai-sampai Thalhah bin Musharrif pernah berkata, “Tidak ada seorang lelaki pun yang lebih aku kagumi di Kufah daripada Ibrahim dan Khaitsam.”
Ibrahim adalah ahli fatwa Kota Kufah di zamannya bersama dengan Asy Sya’bi. Beliau seorang pribadi yang saleh dan bertakwa. Demikian sanjungan dan rekomendasi Adz Dzahabi terhadap beliau dalam kitabnya Siyar A’lamin Nubala’. Ulama sekaliber Asy Sya’bi pun telah mengakui kapasitas keilmuannya dan keluasan periwayatannya.
Kebiasaan Asy Sya’bi, Ibrahim An Nakha’i, dan Abu Dhuha adalah berkumpul di masjid untuk saling mempelajari dan berdiskusi hadis di masjid. Tatkala datang suatu hadis yang tidak mereka miliki riwayatnya, maka mereka pun mengarahkan pandangannya kepada Ibrahim An Nakha’i. Oleh sebab itulah, Yahya bin Ma’in lebih menyukai Marasil[1]nya Ibrahim daripada Marasilnya Asy Sya’bi.
Suatu ketika ada sekelompok orang datang menemui Sa’id bin Jubair lantas meminta fatwa kepadanya. Maka Sa’id pun merasa terkejut seraya mengatakan kepada mereka, “Kalian meminta fatwa kepadaku sementara masih ada Ibrahim di tengah kalian?!” Hal yang sama dilakukan oleh Abu Razin ketika didatangi seseorang lalu meminta fatwa kepadanya. Maka Abu Razin pun menjawab, “Bertanyalah kepada Ibrahim An Nakha’i lalu kembali ke sini dan sampaikan kepadaku apa jawabannya.” Al Mughirah bin Miqsam mengatakan, “Kami sangat segan kepada Ibrahim sebagaimana keseganan kami terhadap penguasa.”
KEBENCIANNYA TERHADAP KELOMPOK SESAT
Kontribusinya terhadap Islam tidak hanya sebatas dalam ilmu hadis, namun Ibrahim sangat aktif membantah kelompok-kelompok sesat terutama Murji’ah. Pada berbagai kesempatan Ibrahim mengingatkan kaum muslimin saat itu, “Janganlah kalian bermajelis dengan orang-orang Murji’ah.” Beliau pernah menyatakan, “Keberadaan orang-orang Murji’ah di tengah umat ini lebih aku khawatirkan daripada sekte Azariqah.” Adapun Azariqah adalah sebuah sekte kelompok Khawarij dengan pencetusnya yang bernama Nafi’ bin Al Azraq. Azariqah termasuk salah satu sekte khawarij (sekte yang gemar mengafirkan kaum muslimin) yang sangat ekstrem. Beliau pun menegaskan bahwa pemikiran irja’ adalah pemikiran yang bid’ah.
Secara etimologi bahasa istilah Murji’ah diambil dari kata irja’ yang artinya penangguhan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قَالُوا أَرۡجِهۡ وَأَخَاهُ وَابۡعَثۡ فِي الۡمَدَائِنِ حَاشِرِينَ
“Mereka mengatakan, ‘Tundalah (urusan) dia dan saudaranya dan kirimkanlah ke seluruh negeri orang-orang yang akan mengumpulkan (tukang sihir).” [QS. Asy Syu’ara: 36].
Adapun definisi Murji’ah secara istilah adalah kelompok sesat yang menyelisihi aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Di antaranya meyakini bahwa iman itu sebatas pengucapan lisan saja, mengeluarkan amal perbuatan dari cakupan keimanan dan iman tidak dapat bertambah dan berkurang, serta ideologi sesat yang lainnya. Maka sejak dahulu kala mereka telah divonis sebagai kelompok sesat oleh para ulama salaf.
Begitu kerasnya sikap Ibrahim rahimahullah terhadap kelompok ini hingga pernah mengusir seorang lelaki yang berbicara dengan pemahaman Murji’ah di majelisnya. Laki-laki tersebut bernama Muhammad dan akhirnya dilarang untuk menghadiri majelisnya Ibrahim. Sebagaimana beliau juga pernah melarang sekelompok orang Murji’ah untuk masuk ke majelisnya. Al A’masy rahimahullah menuturkan bahwa ia pernah berada di majelisnya Ibrahim lalu disebut-sebutlah kelompok Murji’ah di hadapan Ibrahim. Maka beliau pun mengatakan, “Demi Allah mereka itu lebih aku benci daripada orang-orang ahli kitab.”
Antusiasnya dalam membela para shahabat memang sangat luar biasa. Pernah ada seseorang mengatakan kepada Ibrahim, “Ali lebih aku cintai daripada Abu Bakar dan Umar.” Maka Ibrahim mengatakan kepadanya, “Seandainya Ali mengetahui ucapanmu, pasti dia akan mencambuk punggungmu. Kalau kamu hendak duduk bersama kami dengan ucapanmu ini, maka jangan sekali-kali engkau duduk bersama kami.” Beliau juga menyatakan, “Aku terjun dari atas langit lebih aku sukai daripada membicarakan keburukan Utsman bin Affan.”
AHLI IBADAH DAN TAWADHU’
Menurut penuturan sang istri yang bernama Hunaidah, Ibrahim selalu menjaga pelaksanaan puasa Dawud dan telah terbiasa sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa. Adapun pada malam harinya apabila manusia sudah mulai tertidur, Ibrahim mengenakan pakaian yang bagus dan memakai parfum. Kemudian beliau tetap tinggal di masjid untuk beribadah hingga masuk waktu shubuh.
Al A’masy menuturkan bahwa kebiasaan Ibrahim adalah melakukan salat sunah lalu datang menemui kami untuk duduk hanya sesaat lalu pergi meninggalkan kami seolah-olah dia sedang sakit. Ibrahim pergi meninggalkan mereka untuk kembali fokus dan tenggelam dalam ibadahnya.
Ibnul Jauzi rahimahullah dalam kitabnya Al Muntadzam fi Tarikhil Muluk wal Umam membawakan pengalaman pribadi Ibrahim dan muridnya Al A’masy. Telah diketahui bahwa Ibrahim adalah al a’war (orang yang buta sebelah). Sedangkan Al A’masy (Sulaiman bin Mihran) adalah orang yang lemah pandangan matanya dan sering mengeluarkan air mata. Al A’masy menuturkan, “Suatu hari aku keluar bersama Ibrahim An Nakha’i untuk mencari masjid Jami’. Saat kami berada di salah satu jalan Kota Kufah, tiba-tiba Ibrahim mengatakan kepadaku, “Wahai Sulaiman.” “Ada apa?” Jawabku. Ia berkata, “Sekiranya engkau mengambil jalan yang lain di Kota Kufah supaya kita tidak melewati jalan yang sama dan berpapasan dengan orang-orang bodoh. Aku khawatir mereka akan melihat kepada a’war (orang yang buta sebelah) dan a’masy (orang yang lemah pandangannya) lalu mereka menggibahi kita dan akhirnya berdosa.” Aku pun berkata, “Wahai Abu Imran, ada apa dengan dirimu kalau kita mendapatkan pahala dan mereka berdosa?” Beliau pun menjawab, “Ya subhanallah. Jika kita selamat dan mereka juga selamat itu lebih baik daripada kita mendapatkan pahala dan mereka berdosa.”
Di antara keutamaan akhlak beliau adalah tidak suka tampil untuk berfatwa. Bukan karena beliau bakhil ilmu dan tidak ingin berbagi faidah, atau karena kapasitas keilmuan beliau yang kurang sehingga tidak mengetahui jawabannya. Namun ini semua karena kerendahan hatinya dan beliau menyadari bahwa tanggung jawabnya yang tidak ringan di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Demikianlah karakter ulama salaf, mereka berharap jika ada ulama lain yang sudah memberikan jawaban dan fatwa. Seringkali ketika ditanya dan dimintai fatwanya beliau justru balik bertanya, “Tidakkah engkau mendapatkan seseorang selain aku untuk ditanya?” Hal ini selaras dengan karakter Ibrahim sebagai seorang pendiam. Keberadaan beliau di tengah-tengah sebuah kaum sering tidak disadari oleh para hadirin.
Terkait hal ini, Asy’ats bin Siwar mengatakan, “Aku pernah bermajelis di hadapan Ibrahim antara waktu Ashar sampai Maghrib namun beliau tidak mengucapkan sepatah kata pun.” Beliau pun tidak berbicara kecuali jika ditanya atau kondisi mengharuskan beliau angkat bicara.
WAFATNYA
Ibrahim An Nakhai rahimahullah meninggal pada tahun 96 H pada usia empat puluh sembilan tahun dan belum genap berusia lima puluh tahun. Ibnu Sa’ad menukilkan adanya kesepakatan pendapat ulama bahwa Ibrahim meninggal pada tahun tersebut. Kematian beliau ini terjadi pada masa pemerintahan Al Walid bin Abdul Malik di Kota Kufah.
Imran Al Khiyath berkisah, “Kami pernah datang menemui Ibrahim di rumah Ibrahim beberapa saat sebelum beliau wafat. Kami pun datang dalam kondisi beliau menangis sehingga kami bertanya kepadanya, “Apa gerangan yang membuat Anda menangis?” Beliau pun menjawab, “Aku sedang menunggu kedatangan malaikat maut, dan aku tidak tahu apakah dia akan datang dengan membawa berita gembira surga atau neraka.”
Ibnu ‘Aun berkisah, “Tatkala Ibrahim akan meninggal, kami pun datang ke rumahnya lantas kami bertanya kepadanya, “Apa yang akan Anda wasiatkan kepada kami?” Maka Ibrahim mengatakan, “Aku wasiatkan agar kalian tidak menjadikan batu bata di atas kuburanku, buatkanlah liang lahad untukku dan jangan mengikuti jenazahku dengan api.”
Pada hari wafatnya, jenazah beliau dimakamkan pada malam hari. Kematian beliau ini menyisakan kesedihan yang mendalam pada diri kaum muslimin. Asy Sya’bi mengatakan, “Demi Allah tidak ada sepeninggal Ibrahim ulama yang semisal dengannya baik di Kufah, Bashrah, Syam, atau Hijaz.” Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalas jasa dan kebaikan Ibrahim dengan pahala yang berlipat ganda di sisi-Nya. Aamiin Yaa Rabbal ‘Alamin.
Referensi:
- Siyar A’lamin Nubala karya Adz Dzahabi.
- Al Muntadzam fi Tarikhil Muluk wal Umam karya Ibnul Jauzi.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 76 vol.07 1441 H rubrik Biografi. Pemateri: Ustadz Abu Hafy Abdullah.
[1] Marasil adalah jenis riwayat hadis seorang tabiin langsung menyandarkan hadisnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Be the first to leave a comment