Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah di dalam Lamhah ‘anil Firaq Adh-Dhallah mengatakan,
الۡفِرۡقَةُ الرَّابِعَةُ: الۡجَهۡمِيَّةُ
Firkah keempat: Jahmiyyah
“الۡجَهۡمِيَّةُ”، وَمَا أَدۡرَاكَ مَالۡجَهۡمِيَّةُ؟!!
Jahmiyyah, apakah engkau tahu apa Jahmiyyah itu?
“الۡجَهۡمِيَّةُ”: نِسۡبَةً إِلَى “الۡجَهۡمِ بۡنِ صَفۡوَانَ”، الَّذِي تَتَلَّمَذَ عَلَى “الۡجَعۡدِ بۡنِ دِرۡهَمٍ”، وَ “الۡجَعۡدُ بۡنِ دِرۡهَمٍ” تَتَلَّمَذَ عَلَى “طَالُوتَ”، وَ “طَالُوتُ” تَتَلَّمَذَ عَلَى “لَبِيدِ بۡنِ الۡأَعۡصَمِ” الۡيَهُودِيِّ؛ فَهُمۡ تَلَامِيذُ الۡيَهُودِ.
Jahmiyyah adalah suatu penyandaran kepada Al-Jahm bin Shafwan yang berguru kepada Al-Ja’d bin Dirham yang berguru kepada Thalut. Thalut berguru kepada Labid bin Al-A’sham seorang Yahudi. Jadi mereka adalah murid-murid Yahudi.
وَمَا هُوَ “مَذۡهَبُ الۡجَهۡمِيَّةِ”؟
Apakah mazhab Jahmiyyah itu?
“مَذۡهَبُ الۡجَهۡمِيَّةِ”: أَنَّهُمۡ لَا يُثۡبِتُونَ لِلهِ اسۡمًا وَلَا صِفَةً، وَيَزۡعُمُونَ أَنَّهُ ذَاتٌ مُجَرَّدةٌ عَنِ الۡأَسۡمَاءِ وَالصِّفَاتِ؛ لِأَنَّ إِثۡبَاتَ الۡأَسۡمَاءِ وَالصِّفَاتِ – بِزَعۡمِهِمۡ – يَقۡتَضِي الشِّرۡكَ، وَتَعَدُّدَ الۡآلِهَةِ – كَمَا يَقُولُونَ -.
Mazhab Jahmiyyah adalah mereka tidak menetapkan bahwa Allah memiliki suatu nama atau sifat apapun. Mereka menyatakan bahwa Allah hanya zat yang terlepas dari nama-nama dan sifat-sifat. Karena penetapan nama dan sifat menurut anggapan mereka berkonsekuensi kesyirikan dan berbilangnya sesembahan sebagaimana yang mereka katakan.
هَٰذِهِ شُبۡهَتُهُمۡ اللَّعِينَةُ.
Inilah syubhat mereka yang terlaknat.
وَلَا نَدۡرِي مَاذَا يَقُولُونَ فِي أَنۡفُسِهِمۡ؟ فَالۡوَاحِدُ مِنۡهُمۡ يُوصَفُ بِأَنَّهُ عَالِمٌ، وَبِأَنَّهُ غَنِيٌّ، وَبِأَنَّهُ صَانِعٌ، وَبِأَنَّهُ تَاجِرٌ، فَالۡوَاحِدُ مِنۡهُمۡ لَهُ عِدَّةُ صِفَاتٍ، هَلۡ مَعۡنَى ذٰلِكَ أَنۡ يَكُونَ عِدَّةَ أَشۡخَاصٍ؟!
Kita tidak tahu apa yang mereka katakan terhadap diri-diri mereka sendiri. Satu orang dari mereka disifati bahwa dia orang alim, orang kaya, produsen, dan pedagang. Jadi satu orang dari mereka memiliki beberapa sifat. Apakah itu maknanya bahwa dia adalah banyak orang?!
هَٰذِهِ مُكَابَرَةٌ لِلۡعُقُولِ؛ فَلَا يَلۡزَمُ مِنۡ تَعَدُّدِ الۡأَسۡمَاءِ وَالصِّفَاتِ تَعَدُّدَ الۡآلِهَةِ، وَلِهَٰذَا لَمَّا قَالَ الۡمُشۡرِكُونَ مِنۡ قَبۡلُ لَمَّا سَمِعُوا النَّبِيَّ ﷺ يَقُولُ: يَا رَحۡمَٰنُ، يَا رَحِيمُ قَالُوا: هَٰذَا يَزۡعُمُ أَنَّهُ يَعۡبُدُ إِلَٰهًا وَاحِدًا، وَهُوَ يَدۡعُو آلِهَةً مُتَعَدِّدَةً، فَأَنۡزَلَ اللهُ – سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى – قَوۡلَهُ: ﴿قُلِ ٱدۡعُوا۟ ٱللَّهَ أَوِ ٱدۡعُوا۟ ٱلرَّحۡمَـٰنَ ۖ أَيًّا مَّا تَدۡعُوا۟ فَلَهُ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰ ۚ﴾
Ini bertentangan dengan akal-akal. Tidak mesti banyak nama dan sifat mengharuskan banyaknya sesembahan. Karena ini, ketika orang-orang musyrik dahulu mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan, “Wahai Yang Maha Pengasih, wahai Yang Maha Penyayang.” Mereka berkata, “Orang ini menyatakan dia menyembah tuhan yang esa, namun dia menyeru banyak sesembahan.” Maka Allah subhanahu wa taala menurunkan firman-Nya, “Katakanlah: Serulah Allah atau serulah Yang Maha Pengasih. Mana saja yang engkau seru, maka milik Dialah nama-nama yang paling indah.” (QS. Al-Isra`: 110) (Tafsir Ibnu Katsir 4/359).
فَأَسۡمَاءُ اللهِ كَثِيرَةٌ، هِيَ تَدُلُّ عَلَى كَمَالِهِ وَعَظَمَتِهِ – سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى – لَا تَدُلُّ عَلَى تَعَدُّدِّ الۡآلِهَةِ – كَمَا يَقُولُونَ – بَلۡ تَدُلُّ عَلَى الۡعَظَمَةِ، وَعَلَى الۡكَمَالِ.
Jadi nama-nama Allah ada banyak. Hal itu menunjukkan kesempurnaan dan keagungan-Nya subhanahu wa taala. Bukan menunjukkan berbilangnya sesembahan sebagaimana yang mereka katakan. Bahkan ini menunjukkan keagungan dan kesempurnaan.
أَمَّا الذَّاتُ الۡمُجَرَّدَةُ الَّتِي لَيۡسَ لَهَا صِفَاتٌ فَهَٰذِهِ لَا وُجُودَ لَهَا، مُسۡتَحِيلٌ يُوجَدُ شَيۡءٌ وَلَيۡسَ لَهُ صِفَاتٌ، أَبَدًا، وَلَوۡ عَلَى الۡأَقَلِّ صِفَةُ الۡوُجُودِ.
Adapun zat semata yang tidak memiliki sifat-sifat, maka ini adalah sesuatu yang tidak ada wujudnya. Mustahil ditemukan ada suatu zat namun tidak memiliki sifat-sifat. Selama-lamanya. Minimalnya ada sifat wujud.
وَمِنۡ شُبَهِهِمۡ: “أَنَّ إِثۡبَاتَ الصِّفَاتِ يَقۡتَضِي التَّشۡبِيهَ؛ لِأَنَّ هَٰذِهِ الصِّفَاتِ يُوجَدُ مِثۡلُهَا فِي الۡمَخۡلُوقِينَ”.
Di antara syubhat mereka adalah bahwa penetapan sifat-sifat mengakibatkan penyerupaan, karena sifat-sifat ini didapati yang semisalnya pada makhluk-makhluk.
وَهَٰذَا قَوۡلٌ بَاطِلٌ؛ لِأَنَّ صِفَاتِ الۡخَالِقِ تَلِيقُ بِهِ، وَصِفَاتِ الۡمَخۡلُوقِينَ تَلِيقُ بِهِمۡ؛ فَلَا تَشَابُهَ.
Ini adalah pendapat yang batil, karena sifat-sifat Sang Pencipta sesuai untuk-Nya dan sifat-sifat makhluk sesuai untuk mereka, sehingga tidak ada penyerupaan.
وَ “الۡجَهۡمِيَّةُ” جَمَعُوا إِلَى ضَلَالِهِمۡ فِي الۡأَسۡمَاءِ وَالصِّفَاتِ الۡجَبۡرَ فِي الۡقَدۡرِ؛ لِأَنَّ “الۡجَهۡمِيَّةَ” يَقُولُونَ: “إِنَّ الۡعَبۡدَ لَيۡسَ لَهُ مَشِيئَةٌ، وَلَيۡسَ لَهُ اخۡتِيَارٌ، وَإِنَّمَا هُوَ مُجۡبَرٌ عَلَى أَفۡعَالِهِ”.
Jahmiyyah mengumpulkan paham Jabriyyah dalam hal takdir ke dalam kesesatan mereka dalam hal nama-nama dan sifat-sifat. Karena Jahmiyyah berpendapat bahwa seorang hamba tidak memiliki kemauan dan usaha. Hamba hanyalah dipaksa dalam perbuatan-perbuatannya.
وَمَعۡنَى هَٰذَا: أَنَّهُ إِذَا عُذِّبَ عَلَى الۡمَعۡصِيَةِ يَكُونُ مَظۡلُومًا؛ لِأنَّها لَيۡسَتۡ فِعۡلَهُ، وَإِنَّمَا هُوَ مُجۡبَرٌ عَلَيۡهَا – كَمَا يَقُولُونَ – تَعَالَى اللهُ عَنۡ ذٰلِكَ.
Maknanya adalah apabila hamba itu diazab karena kemaksiatannya, maka dia menjadi dizalimi, karena kemaksiatan itu bukan perbuatannya. Dia dipaksa melakukannya—sebagaimana yang mereka katakan—Mahatinggi Allah dari hal itu.
فَهُمۡ جَمَعُوا بَيۡنَ “الۡجَبۡرِ فِي الۡقَدۡرِ”، وَبَيۡنَ “التَّجَهُّمِ فِي الۡأَسۡمَاءِ وَالصِّفَاتِ”، وَجَمَعُوا إِلَى ذٰلِكَ “الۡقَوۡلَ بِالۡإِرۡجَاءِ”، وَأَضَافُوا إِلَى ذٰلِكَ “الۡقَوۡلَ بِخَلۡقِ الۡقُرۡآنِ” ﴿ظُلُمَـٰتٌۢ بَعۡضُهَا فَوۡقَ بَعۡضٍ﴾.
Sehingga mereka mengumpulkan antara paham Jabriyyah dalam masalah takdir dengan paham Jahmiyyah dalam hal nama dan sifat. Lalu mereka mengumpulkan pemahaman Murji`ah ke dalam kesesatan mereka. Lalu mereka menambahkan pemahaman bahwa Alquran adalah makhluk ke dalam kesesatan mereka. “Banyak kegelapan, sebagiannya di atas sebagian yang lain.” (QS. An-Nur: 40).
قَالَ ابۡنُ الۡقَيِّمِ:
جِــيمٌ وَجِــيمٌ ثُمَّ جِــيمٌ مَعۡهُمَــا مَقۡرُونَــةً مَعۡ أَحۡـرُفٍ بِـوِزَانِ
جَبۡــرٌ وإِرۡجَــاءٌ وَجِــيمُ تَجَهُّـــمٍ فَتَأَمَّـلِ الۡمَجۡمُوعَ في الۡمِيـزَانِ
فَــاحۡكُمۡ بِطَالِعِهـا لِمَنۡ حَـصُلَتۡ بِخلَاصِـهِ مِنۡ رِبۡقَـةِ الۡإِيمَـانِ
Ibnu Al-Qayyim berkata (yang maknanya), “Huruf jim dan jim kemudian jim bersamaan disertai beberapa huruf lainnya. Yaitu jabr (pemahaman Jabriyyah), irja` (pemahaman Murji`ah), dan huruf jimnya tajahhum (pemahaman Jahmiyyah). Apabila ketiga pemahaman ini ada pada diri seseorang, maka dia terlepas dari ikatan keimanan.” (Nuniyyah Ibnu Al-Qayyim halaman 115).
يَعۡنِي: جَمَعُوا بَيۡنَ “جَبۡرٍ” وَ “تَجَهُّمٍ” وَ “إِرۡجَاءٍ”، ثَلَاثُ جِيمَاتٍ، وَالۡجِيمُ الرَّابِعَةُ جِيمُ جَهَنَّمَ.
الۡحَاصِلُ: أَنَّ هَٰذَا “مَذۡهَبَ الۡجَهۡمِيَّةِ”، وَالَّذِي اشۡتَهَرَ فِيهِ نَفۡيُ الۡأَسۡمَاءِ وَالصِّفَاتِ عَنِ اللهِ – سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى – انۡشَقَّ عَنۡهُ “مَذۡهَبُ الۡمُعۡتَزِلَةِ”، وَ “مَذۡهَبُ الۡأَشَاعِرَةِ”، وَ “مَذۡهَبُ الۡمَاتُرِيدِيَّةِ”.
Yakni mereka mengumpulkan antara Jabriyyah, Jahmiyyah, dan Murji`ah. Tiga huruf jim. Huruf jim keempat adalah huruf jim Jahannam (neraka Jahanam).
Kemudian mazhab Jahmiyyah ini dan mazhab yang dikenal dengan meniadakan nama dan sifat dari Allah subhanahu wa taala, terpecah darinya mazhab Mu’tazilah, mazhab Asy’ariyyah, dan mazhab Maturidiyyah.
وَ “مَذۡهَبُ الۡمُعۡتَزِلَةِ”: أَنَّهُمۡ أَثۡبَتُوا الۡأَسۡمَاءَ وَنَفَوۡا الصِّفَاتِ، لَكِنۡ أَثۡبَتُوا أَسۡمَاءً مُجَرَّدَةً، مُجَرَّدَ أَلۡفَاظٍ لَا تَدُلُّ عَلَى مَعَانٍ وَلَا صِفَاتٍ.
سُمُّوا “بِالۡمُعۡتَزِلَةِ”: لِأَنَّ إِمَامَهُمۡ “وَاصِلَ بۡنَ عَطَاءٍ” كَانَ مِنۡ تَلَامِيذِ الۡحَسَنِ الۡبَصۡرِيِّ – رَحِمَهُ اللهُ -، الۡإِمَامَ التَّابِعِيَّ الۡجَلِيلَ، فَلَمَّا سُئِلَ الۡحَسَنُ الۡبَصۡرِيُّ عَنۡ مُرۡتَكِبِ الۡكَبِيرَةِ، مَا حُكۡمُهُ؟ فَقَالَ بِقَوۡلِ أَهۡلِ السُّنَّةِ وَالۡجَمَاعَةِ: “إِنَّهُ مُؤۡمِنٌ نَاقِصُ الۡإِيمَانِ، مُؤۡمِنٌ بِإِيمَانِهِ فَاسِقٌ بِكَبِيرَتِهِ”.
Mazhab Mu’tazilah menetapkan nama-nama, namun menafikan sifat-sifat. Akan tetapi mereka menetapkan nama-nama belaka. Hanya kata-kata yang tidak menunjukkan kepada suatu makna atau sifat.
Mereka dinamai Mu’tazilah karena imam mereka, yaitu Washil bin ‘Atha`, dahulunya termasuk murid Al-Hasan Al-Bashri, seorang imam tabiin yang mulia. Ketika Al-Hasan Al-Bashri ditanya tentang hukum untuk pelaku dosa besar, beliau menjawab dengan pendapat ahli sunah waljamaah, “Bahwa dia seorang mukmin yang kurang imannya. Mukmin dengan keimanannya dan fasik dengan dosa besarnya.”
فَلَمۡ يَرۡضَ “وَاصِلُ بۡنُ عَطَاءٍ” بِهَٰذَا الۡجَوَابِ مِنۡ شَيۡخِهِ؛ فَاعۡتَزَلَ وَقَالَ: “لَا. أَنَا أَرَى أَنَّهُ لَيۡسَ بِمُؤۡمِنٍ وَلَا كَافِرٍ، وَأَنَّهُ فِي الۡمَنۡزِلَةِ بَيۡنَ الۡمَنۡزِلَتَيۡنِ”. وَانۡشَقَّ عَنۡ شَيۡخِهِ – الۡحَسَنِ – وَصَارَ فِي نَاحِيَةِ الۡمَسۡجِدِ، وَاجۡتَمَعَ عَلَيۡهِ قَوۡمٌ مِنۡ أَوۡبَاشِ النَّاسِ وَأَخَذُوا بِقَوۡلِهِ.
وَهَٰكَذَا دُعَاةُ الضَّلَالِ فِي كُلِّ وَقۡتٍ، لَا بُدَّ أَنۡ يَنۡحَازَ إِلَيۡهِمۡ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، هَٰذِهِ حِكۡمَةٌ مِنَ اللهِ.
تَرَكُوا مَجۡلِسَ الۡحَسَنِ، شَيۡخِ أَهۡلِ السُّنَّةِ، الَّذِي مَجۡلِسُهُ مَجۡلِسُ الۡخَيۡرِ، وَمَجۡلِسُ الۡعِلۡمِ، وَانۡحَازُوۡا إِلَى مَجۡلِسِ “الۡمُعۡتَزِلِيِّ: وَاصِلِ بۡنِ عَطَاءٍ” الضَّالِّ الۡمُضِلِّ.
Washil bin ‘Atha` tidak puas dengan jawaban dari gurunya ini. Lalu dia pun menjauhkan diri seraya berkata, “Tidak. Aku berpendapat bahwa dia bukan mukmin, bukan pula kafir, dan bahwa dia di satu kedudukan di antara dua kedudukan.”
Lalu dia memisahkan diri dari gurunya, yaitu Al-Hasan, dan mengambil tempat di sudut masjid. Lalu orang-orang dari kalangan manusia yang hina mengerumuninya dan mengambil pendapatnya.
Demikianlah para dai kesesatan di setiap waktu. Pasti banyak orang akan bergabung dengan mereka. Ini adalah suatu hikmah dari Allah. Mereka meninggalkan majelis Al-Hasan, ulama ahli sunah. Yang mana majelis beliau adalah majelis kebaikan dan majelis ilmu. Lalu mereka bergabung kepada majelis pengusung bidah Mu’tazilah, Washil bin ‘Atha`, seorang yang sesat dan menyesatkan.
وَلَهُمۡ أَشۡبَاهٌ فِي زَمَانِنَا، يَتۡرُكُونَ عُلَمَاءَ أَهۡلِ السُّنَّةِ وَالۡجَمَاعَةِ، وَيَنۡحَازُونَ إِلَى أَصۡحَابِ الۡفِكۡرَةِ الۡمُنۡحَرِفِ.
Mereka memiliki keserupaan dengan orang-orang di zaman kita. Mereka meninggalkan para ulama ahli sunah waljamaah dan bergabung kepada pengusung pemikiran yang menyimpang.[1]
وَمِنۡ ذٰلِكَ الۡوَقۡتِ سُمُّوا “بِالۡمُعۡتَزِلَةِ”، لِأَنَّهُمۡ اعۡتَزَلُوا أَهۡلَ السُّنَّةِ وَالۡجَمَاعَةِ؛ فَصَارُوا يَنۡفُونَ الصِّفَاتِ عَنِ اللهِ – سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى -، وَيُثۡبِتُونَ لَهُ أَسۡمَاءً مُجَرَّدَةً، وَيَحۡكُمُونَ عَلَى مُرۡتَكِبِ الۡكَبِيرَةِ بِمَا حَكَمَتۡ بِهِ “الۡخَوَارِجُ”: (أَنَّهُ مُخَلَّدٌ فِي النَّارِ)، لَكِنۡ اخۡتَلَفُوا عَنِ “الۡخَوَارِجِ” فِي الدُّنۡيَا، وَقَالُوا: (إِنَّهُ يَكُونُ بِالۡمَنۡزِلَةِ بَيۡنَ الۡمَنۡزِلَتَيۡنِ، لَيۡسَ بِمُؤۡمِنٍ وَلَا كَافِرٍ).
بَيۡنَمَا “الۡخَوَارِجُ” يَقُولُونَ: (كَافِرٌ).
يَا سُبۡحَانَ اللهِ! هَلۡ يُعۡقَلُ أنَّ الۡإِنۡسَانَ لَا يَكُونُ مُؤۡمِنًا وَلَا كَافِرًا؟!
وَاللهُ – تَعَالَى – يَقُولُ: ﴿هُوَ ٱلَّذِى خَلَقَكُمۡ فَمِنكُمۡ كَافِرٌ وَمِنكُم مُّؤۡمِنٌ ۚ﴾.
مَا قَالَ: وَمِنۡكُمۡ مَنۡ هُوَ بِالۡمَنۡزِلَةِ بَيۡنَ الۡمَنۡزِلَتَيۡنِ. لَكِنۡ هَلۡ هَٰؤُلَاءِ يَفۡقَهُونَ؟!
Sejak saat itu mereka dinamai Mu’tazilah karena mereka i’tazala (menjauhi) ahli sunah waljamaah. Mereka menafikan sifat-sifat dari Allah subhanahu wa taala dan menetapkan nama-nama saja untuk-Nya. Mereka menghukumi pelaku dosa besar dengan hukum yang ditetapkan oleh Khawarij bahwa pelaku dosa besar dikekalkan di dalam neraka. Akan tetapi mereka menyelisihi Khawarij tentang hukum di dunia. Mereka berkata, “Pelaku dosa besar berada di salah satu dari dua kedudukan. Bukan mukmin, bukan pula kafir.” Sementara Khawarij mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah kafir. Mahasuci Allah.
Apa masuk akal bahwa seseorang bukan mukmin dan bukan kafir?! Padahal Allah taala berfirman yang artinya, “Dialah yang menciptakan kalian. Maka, sebagian kalian ada yang kafir dan sebagian kalian ada yang mukmin.” (QS. At-Taghabun: 2).
Allah tidak mengatakan, “Sebagian kalian ada yang di salah satu dari dua kedudukan.” Akan tetapi apakah mereka itu tidak memahami?!
ثُمَّ تَفَرَّعَ عَنۡ “مَذۡهَبِ الۡمُعۡتَزِلَةِ” “مَذۡهَبُ الۡأَشَاعِرَةِ”.
وَ “الۡأَشَاعِرَةُ”: يُنۡسَبُونَ إِلَى “أَبِي الۡحَسَنِ الۡأَشۡعَرِيِّ” – رَحِمَهُ اللهُ -.
وَكَانَ أَبُو الۡحَسَنِ الۡأَشۡعَرِيُّ مُعۡتَزِلِيًّا، ثُمَّ مَنَّ اللهُ عَلَيۡهِ، وَعَرَفَ بُطۡلَانَ مَذۡهَبِ الۡمُعۡتَزِلَةِ، فَوَقَفَ فِي الۡمَسۡجِدِ يَوۡمَ الۡجُمُعَةِ وَأَعۡلَنَ بَرَاءَتَهُ مِنۡ مَذۡهَبِ الۡمُعۡتَزِلَةِ، وَخَلَعَ ثَوۡبًا عَلَيۡهِ وَقَالَ: (خَلَعۡتُ مَذۡهَبَ الۡمُعۡتَزِلَةِ، كَمَا خَلَعۡتُ ثَوۡبِي هَٰذَا). لَكِنَّهُ صَارَ إِلَى “مَذۡهَبِ الۡكُلَّابِيَّةِ”: أَتۡبَاعِ “عَبۡدِ اللهِ بۡنِ سَعِيدِ بۡنِ كُلَّابٍ”.
Kemudian dari mazhab Mu’tazilah bercabang mazhab Asya’irah. Asya’irah disandarkan kepada Abu Al-Hasan Al-Asy’ari rahimahullah. Dahulu Abu Al-Hasan Al-Asy’ari adalah seorang penganut pemahaman Mu’tazilah kemudian Allah memberi karunia kepada beliau sehingga beliau mengetahui kebatilan mazhab Mu’tazilah.
Beliau berdiri di masjid pada hari Jumat dan mengumumkan berlepas diri dari mazhab Mu’tazilah. Beliau menanggalkan satu pakaian beliau seraya berkata, “Aku melepaskan mazhab Mu’tazilah sebagaimana aku melepaskan pakaianku ini.”
Akan tetapi beliau berpindah ke mazhab Kullabiyyah, pengikut ‘Abdullah bin Sa’id bin Kullab.
وَ “عَبۡدُ اللهِ بۡنُ سَعِيدِ بۡنِ كُلَّابٍ”: كَانَ يُثۡبِتُ سَبۡعَ صِفَاتٍ، وَيَنۡفِي مَا عَدَاهَا، يَقُولُ: (لِأنَّ الۡعَقۡلَ لَا يَدُلُّ إِلَّا عَلَى سَبۡعِ صِفَاتٍ فَقَطۡ: “الۡعِلۡمُ”، وَ “الۡقُدۡرَةُ”، وَ “الۡإِرَادَةُ”، وَ “الۡحَيَاةُ”، وَ “السَّمۡعُ”، وَ “الۡبَصَرُ”، وَ “الۡكَلَامُ”) يَقُولُ: (هَٰذِهِ دَلَّ عَلَيۡهَا الۡعَقۡلُ، أَمَّا مَا لَمۡ يَدُلُّ عَلَيۡهِ الۡعَقۡلُ – عِنۡدَهُ – فَلَيۡسَ بِثَابِتٍ).
‘Abdullah bin Sa’id bin Kullab menetapkan tujuh sifat dan menafikan sifat selainnya. Dia katakan, “Karena akal tidak menunjukkan kecuali hanya tujuh sifat, yaitu: ilmu, kemampuan, keinginan, kehidupan, pendengaran, penglihatan, dan pembicaraan.”
Dia katakan pula, “Tujuh sifat ini telah ditunjukkan oleh akal. Adapun sifat yang tidak ditunjukkan oleh akal—menurutnya—maka sifat itu tidak ditetapkan.”
ثُمَّ إِنَّ اللهَ مَنَّ عَلَى “أَبِي الۡحَسَنِ الۡأَشۡعَرِيِّ”، وَتَرَكَ “مَذۡهَبَ الۡكُلَّابِيَّةِ”، وَرَجَعَ إِلَى مَذۡهَبِ الۡإِمَامِ أَحۡمَدَ بۡنِ حَنۡبَلٍ، وَقَالَ: (أَنَا أَقُولُ بِمَا يَقُولُ بِهِ إِمَامُ أَهۡلِ السُّنَّةِ وَالۡجَمَاعَةِ أَحۡمَدُ بۡنُ حَنۡبَلٍ: إِنَّ اللهَ اسۡتَوَى عَلَى الۡعَرۡشِ، وَإِنَّ لَهُ يَدًا، وَإِنَّ لَهُ وَجۡهًا). ذَكَرَ هَٰذَا فِي كِتَابِهِ: “الۡإِبَانَةِ عَنۡ أُصُولِ الدِّيَانَةِ”، وَذَكَرَ هَٰذَا فِي كِتَابِهِ الثَّانِي: “مَقَالَاتِ الۡإِسۡلَامِيِّينَ وَاخۡتِلَافِ الۡمُصَلِّينَ” ذَكَرَ (أَنَّهُ عَلَى مَذۡهَبِ الۡإِمَامِ أَحۡمَدَ بۡنِ حَنۡبَلٍ). وَإِنۡ بَقِيَتۡ عِنۡدَهُ بَعۡضُ الۡمُخَالِفَاتِ.
وَلَكِنَّ أَتۡبَاعَهُ بَقَوۡا عَلَى “مَذۡهَبِ الۡكُلَّابِيَّةِ”؛ فَغَالِبُهُمۡ لَا يَزَالُونَ عَلَى مَذۡهَبِهِ الۡأَوَّلِ، وَلِذٰلِكَ يُسَممُّونَ “بِالۡأَشۡعَرِيَّةِ”: نِسۡبَةً إِلَى الۡأَشۡعَرِيِّ فِي مَذۡهَبِهِ الۡأَوَّلِ.
Kemudian sesungguhnya Allah memberi karunia kepada Abu Al-Hasan Al-Asy’ari sehingga meninggalkan mazhab Kullabiyah dan rujuk kepada mazhab Imam Ahmad bin Hanbal. Dan beliau berkata, “Aku berpendapat dengan pendapat imam ahli sunah waljamaah Ahmad bin Hanbal bahwa Allah tinggi di atas arsy, Allah memiliki tangan, dan Allah memiliki wajah.”
Beliau menyebutkan ini di dalam kitabnya Al-Ibanah ‘an Ushul Ad-Diyanah dan beliau sebutkan pula di kitab kedua beliau Maqalat Al-Islamiyyah wa Ikhtilaf Al-Mushallin. Beliau sebutkan bahwa beliau sejalan dengan mazhab Imam Ahmad bin Hanbal. Walaupun sebagian penyelisihan beliau masih tersisa.
Akan tetapi para pengikutnya bersikeras di atas mazhab Kullabiyah. Sebagian besar mereka masih terus berada di mazhab beliau yang pertama. Oleh karena itu mereka dinamakan Asya’irah mengacu kepada Al-Asy’ari ketika mazhabnya yang pertama.
أَمَّا بَعۡدَ أَنۡ رَجَعَ إِلَى مَذۡهَبِ أَهۡلِ السُّنَّةِ وَالۡجَمَاعَةِ؛ فَنِسۡبَةُ هَٰذَا الۡمَذۡهَبِ إِلَيۡهِ ظُلۡمٌ، وَالصَّوَابُ أَنۡ يُقَالَ: “مَذۡهَبُ الۡكُلَّابِيَّةِ”، لَا مَذۡهَبُ أَبِي الۡحَسَنِ الۡأَشۡعَرِيِّ – رَحِمَهُ اللهُ -؛ لِأَنَّهُ تَابَ مِنۡ هَٰذَا، وَصَنَّفَ فِي ذٰلِكَ كِتَابَهُ: “الۡإِبَانَةُ عَنۡ أُصُولِ الدِّيَانَةِ”، وَصَرَّحَ بِرُجُوعِهِ، وَتَمَسُّكِهِ بِمَا كَانَ عَلَيۡهِ أَهۡلُ السُّنَّةِ وَالۡجَمَاعَةِ – خُصُوصًا الۡإِمَامُ: أَحۡمَدُ بۡنُ حَنۡبَلٍ رَحِمَهُ اللهُ -، وَإِنۡ كَانَتۡ عِنۡدَهُ بَعۡضُ الۡمُخَالِفَاتِ، مِثۡلُ قَوۡلِهِ فِي الۡكَلَامِ: (إِنَّهُ الۡمَعۡنَى النَّفسي الۡقَائِمُ بِالذَّاتِ، وَالۡقُرۡآنُ حِكَايَةٌ – أَوۡ عِبَارَةٌ – عَنۡ كَلَامِ اللهِ، لَا أَنَّهُ كَلَامُ اللهِ).
Adapun setelah beliau rujuk kepada mazhab ahli sunah waljamaah maka menyandarkan mazhab ini kepada beliau merupakan kezaliman. Yang benar mazhab ini dinamakan mazhab Kullabiyyah. Bukan mazhab Abu Al-Hasan Al-Asy’ari rahimahullah karena beliau telah tobat dari ini dan menulis hal itu dalam kitabnya Al-Ibanah ‘an Ushul Ad-Diyanah. Beliau menegaskan rujuknya dan berpegang teguhnya beliau dengan prinsip ahli sunah waljamaah, terkhusus Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Walau beliau memang masih memiliki beberapa penyelisihan, seperti ucapan beliau tentang kalam Allah, “Sesungguhnya kalam Allah adalah makna di dalam benak yang berada di Zat Allah. Adapun Alquran adalah hikayat atau pengungkapan dari kalam Allah, Alquran bukan kalam Allah.”
هَٰذَا “مَذۡهَبُ الۡأَشَاعِرَةِ”، مُنۡشَقٌّ عَنۡ “مَذۡهَبِ الۡمُعۡتَزِلَةِ”.
“وَمَذۡهَبُ الۡمُعۡتَزِلَةِ” مُنۡشَقٌّ عَنۡ “مَذۡهَبِ الۡجَهۡمِيَّةِ”.
ثُمَّ تَفَرَّعَتۡ مَذَاهِبُ كَثِيرَةٌ، كُلُّهَا أَصۡلُهَا “مَذۡهَبُ الۡجَهۡمِيَّةِ”.
Ini adalah mazhab Asya’irah, pecahan dari mazhab Mu’tazilah. Mazhab Mu’tazilah adalah pecahan dari mazhab Jahmiyyah. Kemudian bercabang banyak mazhab. Semuanya berasal dari mazhab Jahmiyyah.
هَٰذِهِ – تَقۡرِيبًا – أُصُولُ الۡفِرَقِ عَلَى التَّرۡتِيبِ.
أَوَّلًا: “الۡقَدَرِيَّةُ”.
ثُمَّ: “الشِّيعَةُ”.
ثُمَّ: “الۡخَوَراِجُ”.
ثُمَّ: “الۡجَهۡمِيَّةُ”.
هَٰذِهِ أُصُولُ الۡفِرَقِ.
Kurang lebih inilah pokok kelompok sempalan[2] sesuai urutan:
- Qadariyyah
- Syi’ah
- Khawarij
- Jahmiyyah
Ini adalah asal usul firkah.
[1] فَتَجِدُهُمۡ يَقۡتَنُونَ أَشۡرِطَتَهُمۡ، وَكُتُبَهُمۡ، وَيَحۡرِصُونَ عَلَيۡهَا، وَإِذَا قُلۡتَ لَهُمۡ: إِنَّ فِي هَٰذِهِ الۡكُتُبِ مَا يُخَالِفُ مُعۡتَقَدَ أَهۡلِ السُّنَّةِ وَالۡجَمَاعَةِ، السَّلَفِ الصَّالِحِ، مِنۡ قَوۡلٍ بِخَلۡقِ الۡقُرۡآنِ، أَوۡ مِنۡ تَأۡوِيلٍ لِلصِّفَاتِ، أَوۡ مِنۡ تَحۡرِيضٍ عَلَى أَوۡلِيَاءِ الۡأُمُورِ، أَوۡ غَيۡرَهُ. قَالُوا: “هَٰذِهِ أَخۡطَاءٌ بَسِيطَةٌ، لَا تَمۡنَعُ مِنۡ قِرَاءَتِهَا وَاسۡتِمَاعِهَا”، مَعَ أَنَّ فِي كُتُبِ عُلَمَائِنَا – سَلَفًا وَخَلَفًا – الۡغَنِيَّةَ عَنۡهَا وَهَٰكَذَا يُضَلِّلُونَ كُلَّ مَنۡ سَمِعَهُمۡ: ﴿لِيَحۡمِلُوٓا۟ أَوۡزَارَهُمۡ كَامِلَةً يَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِ ۙ وَمِنۡ أَوۡزَارِ ٱلَّذِينَ يُضِلُّونَهُم بِغَيۡرِ عِلۡمٍ ۗ أَلَا سَآءَ مَا يَزِرُونَ﴾ [النحل].
Engkau dapati mereka mengumpulkan kaset-kaset dan buku-buku para pengusung pemikiran yang menyimpang dan bersemangat untuk itu. Apabila engkau katakan kepada mereka, “Sesungguhnya di dalam kitab-kitab ini ada yang menyelisihi prinsip ahli sunah waljamaah salaf saleh, berupa pendapat bahwa Alquran adalah makhluk, atau takwil batil sifat Allah, atau provokasi terhadap pemerintah, atau selain itu.”; maka mereka berkata, “Ini adalah kesalahan yang sederhana. Tidak sampai menghalangi kita dari membaca dan menyimaknya.” Padahal isi kitab para ulama kita, baik yang dahulu maupun belakangan, sudah mencukupi dari itu.
Demikianlah mereka menyesatkan setiap orang yang mendengar mereka. “Agar mereka memikul dosa-dosa mereka dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan dengan tanpa sepengetahuan mereka. Ingatlah, alangkah buruk dosa yang mereka pikul itu.” (QS. An-Nahl: 25).
أَلَمۡ يَعۡلَمُوا أَنَّ مِنۡ سَلَفِنَا الصَّالِحِ مَنۡ هَجَرَ مَنۡ قَالَ بِبِدۡعَةٍ وَاحِدَةٍ، أَوۡ أَوَّلَ صِفَةً وَاحِدَةً فَقَطۡ؟ فَهَٰذَا عَبۡدُ الۡوَهَّابِ بۡنُ عَبۡدِ الۡحَكَمِ الۡوَرَّاقُ، وَهُوَ مِنۡ أَصۡحَابِ أَحۡمَدَ – رَحِمَهُمُ اللهُ – يُسۡئَلُ عَنۡ أَبِي ثَوۡرٍ فَقَالَ: مَا أَدِينُ فِيهِ إِلَّا بِقَوۡلِ أَحۡمَدَ بۡنِ حَنۡبَلٍ: “يُهۡجَرُ أَبُو ثَوۡرٍ، وَمَنۡ قَالَ بِقَوۡلِهِ”. وَذٰلِكَ لِأَنَّهُ أَوَّلُ حَدِيثِ الصورة، وَخَالَفَ قَوۡلَ السَّلَفِ فِيهَا. فَكَيۡفَ بِمَنۡ لَا تَجۡمَعُ أَخۡطَاءَهُ وَلَا تُحۡصِيهَا إِلَّا الۡكُتُبُ؟؟! وَمَعَ ذٰلِكَ تَسۡمَعُ بَعۡضَهُمۡ يَقُولُ: أَخۡطَاءٌ بَسِيطَةٌ لَا تَمۡنَعُ مِنۡ قِرَاءَتِهَا!! فَلَا حَوۡلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ.
Apakah mereka tidak mengetahui bahwa di antara salaf kita yang saleh ada yang mengucilkan orang yang berpendapat dengan satu kebidahan atau menakwil satu sifat Allah saja?
Inilah ‘Abdul Wahhab bin ‘Abdul Hakam Al-Warraq. Beliau termasuk murid Imam Ahmad rahimahumullah. Beliau ditanya tentang Abu Tsaur, maka beliau berkata, “Aku tidak berpendirian terhadapnya kecuali dengan ucapan Ahmad bin Hanbal: Abu Tsaur dikucilkan, begitu pula yang berpendapat dengan pendapatnya.”
Hal itu karena Abu Tsaur adalah orang yang keliru menakwilkan hadis shurah [yaitu hadis “Allah telah menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya”] dan dia menyelisihi pendapat salaf dalam hal itu. Lalu bagaimana dengan orang yang kekeliruan-kekeliruannya tidak bisa dikumpulkan dan dihitung kecuali oleh banyak kitab?! Bersamaan dengan itu, engkau dengar sebagian mereka berkata, “Kesalahan-kesalahan yang sederhana yang tidak menghalangi dari membaca kitab-kitab mereka.” Tidak ada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah.
[2] قَالَ ابۡنُ أَبِي رَنۡدَقَةَ الطُّرۡطُوشِيُّ فِي كِتَابِهِ “كِتَابُ الۡحَوَادِثِ وَالۡبِدَعِ” ص: ١٤: (اعۡلَمۡ أَنَّ عُلَمَاءَنَا – رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمۡ – قَالُوا: أُصُولُ الۡبِدَعِ أَرۡبَعَةٌ، وَسَائِرُ الۡأَصۡنَافِ الۡاثۡنَتَيۡنِ وَسَبۡعِينَ فِرۡقَةً مِنۡ هَٰؤُلَاءِ تَفَرَّقُوا وَتَشَعَّبُوا، وَهُمۡ: “الۡخَوَارِجُ” وَهِيَ أَوَّلُ فِرۡقَةٍ خَرَجَتۡ عَلَى عَلِيِّ بۡنِ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ -، وَ “الرَّوَافِضُ”، وَ “الۡقَدَرِيَّةُ”، وَ “الۡمُرۡجِئَةُ”).
Ibnu Abu Randaqah Ath-Thurthusyi berkata di dalam kitabnya Al-Hawadits wal Bida’ halaman 14, “Ketahuilah bahwa para ulama kami radhiyallahu ‘anhum berkata: Asal usul bidah ada empat. Seluruh kelompok, 72 firkah terpecah dan bercabang dari mereka ini. Mereka adalah Khawarij—firkah pertama yang memberontak terhadap ‘Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu—, Rafidhah, Qadariyyah, dan Murji`ah.”
Be the first to leave a comment