Hak Pengasuhan Anak oleh Khalah (Saudara Perempuan Ibu)

ismail  

Al-Imam Al-‘Allamah Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukani rahimahullah berkata di dalam kitab Ad-Durar Al-Bahiyyah,

الۡأَوۡلَى بِالطِّفۡلِ أُمُّهُ، مَالَمۡ تُنۡكَحۡ، ثُمَّ الۡخَالَة.

Yang paling berhak terhadap anak adalah ibunya selama si ibu belum menikah lagi. Kemudian khalah (saudara perempuan ibu).

Al-Imam Al-‘Allamah Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukani rahimahullah berkata di dalam kitab Ad-Darari Al-Mudhiyyah,

وَأَمَّا كَوۡنُ الۡخَالَةُ أَوۡلَى بَعۡدَ الۡأُمِّ مِمَّنۡ عَدَاهَا، فَلِحَدِيثِ الۡبَرَاءِ بۡنِ عَازِبٍ فِي الصَّحِيحَيۡنِ وَغَيۡرِهِمَا: (أَنَّ ابۡنَةَ حَمۡزَةَ اخۡتَصَمَ فِيهَا عَلِيٌّ وَجَعۡفَرٌ وَزَيۡدٌ، فَقَالَ عَلِيٌّ: أَنَا أَحَقُّ بِهَا هِيَ ابۡنَةُ عَمِّي، وَقَالَ جَعۡفَرٌ: بِنۡتُ عَمِّي وَخَالَتُهَا تَحۡتِي، وَقَالَ زَيۡدٌ: ابۡنَةُ أَخِي، فَقَضَى بِهَا رَسُولُ اللهِ ﷺ لِخَالَتِهَا وَقَالَ: الۡخَالَةُ بِمَنۡزِلَةِ الۡأُمِّ). وَالۡمُرَادُ بِقَوۡلِ زَيۡدٍ ابۡنَةُ أَخِي أَنَّ حَمۡزَةَ قَدۡ كَانَ النَّبِيُّ ﷺ آخَي بَيۡنَهُمَا. وَوَجۡهُ الۡاسۡتِدۡلَالِ بِهَٰذَا الۡحَدِيثِ أَنَّهُ قَدۡ ثَبَتَ بِالۡإِجۡمَاعِ أَنَّ الۡأُمَّ أَقۡدَمُ الۡحَوَاضِنِ، فَمُقۡتَضَى التَّشۡبِيهِ أَنَّ الۡخَالَةَ أَقۡدَمُ مِنۡ غَيۡرِهَا مِنۡ غَيۡرِ فَرۡقٍ بَيۡنَ الۡأَبِ وَغَيۡرِهِ، وَقَدۡ قِيلَ: إِنَّ الۡأَبَ أَقۡدَمُ مِنۡهَا إِجۡمَاعًا وَلَيۡسَ ذٰلِكَ بِصَحِيحٍ، وَالۡخِلَافُ مَعۡرُوفٌ وَالۡحَدِيثُ يَحُجُّ مَنۡ خَالَفَهُ.

Adapun khalah (bibi dari garis ibu/saudara perempuan ibu) lebih berhak setelah ibu daripada orang lain, maka berdasar hadis Al-Bara` bin ‘Azib di dalam dua kitab Shahih dan selainnya: Bahwa pengasuhan putri Hamzah diperebutkan oleh ‘Ali, Ja’far, dan Zaid. ‘Ali berkata, “Aku lebih berhak terhadapnya. Dia putri pamanku.” Ja’far berkata, “Dia putri pamanku dan khalah-nya adalah istriku.” Zaid berkata, “Dia adalah putri saudaraku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan pengasuhan putri Hamzah untuk khalah-nya dan beliau bersabda, “Khalah berkedudukan seperti ibu.”[1] Maksud ucapan Zaid bahwa putri Hamzah adalah putri saudaraku karena Hamzah dahulu pernah dipersaudarakan dengan Zaid oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sisi pendalilan dengan hadis ini bahwa telah pasti ada kesepakatan bahwa ibu adalah pengasuh anak yang paling didahulukan, sehingga konsekuensi dari penyerupaan (antara khalah dengan ibu) adalah khalah lebih didahulukan daripada selain dia, tanpa membedakan apakah ayah atau selain ayah.

Ada yang berpendapat bahwa ayah lebih didahulukan daripada khalah berdasarkan ijmak. Namun pernyataan itu tidak sahih dan perselisihan pendapat dalam hal ini sudah makruf. Hadis ini menjadi argumen pihak yang menyelisihi pendapat ini.

[1] Lihat catatan kaki sebelumnya.

Be the first to leave a comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *